[OPINI] BAMBU, SUNGAI DAN KOTA SOLO

Pada Bulan Oktober yang lalu di area Benteng Vastenburg, masyarakat Solo dan sekitarnya bisa menyaksikan aneka rupa kreatifitas berbahan baku bambu.  Even sebulan penuh ini bertajuk Bamboo Bienalle 2016, yang diselenggarakan dua tahun sekali dan merupakansatu-satunya even di dunia dengan melibatkan ahli bambu, arsitek, komposer, musisi, perajin dan penggiat bambu dari dalam dan luar negeri.  Ada niatan yang luhur dari penggagas even ini yakni untuk mengangkat kembali pamor bambu sebagai material masa depan yang sangat potensial dan mampu meningkatkan ekonomi masyarakat dengan menggali potensi, merangsang dan mengumpulkan ide-ide kreatif dari para penggiat bambu kepada masyarakat luas.
Pada bulan lalu juga, beberapa kabupaten kota mengadakan kegiatan bertajuk Sekolah Sungai. Kegiatan ini sebenarnya dimaksudkan sebagai program belajar mengenai seluk beluk sungai dengan segala aspeknya yang berbasis komunitas untuk para pegiat sungai, siswa sekolah, pemerintah daerah, dan masyarakat yang membutuhkan. Kegiatan ini awal mulanya terinspirasi dari komunitas Sungai Code dan Sungai Boyong di Jogjakarta yang melahirkan konsep sekolah sungai. Mereka mencoba membangun ideologi keberpihakan kepada sungai dengan segala potensinya dengan mengajak serta masyarakat seluas-luasnya.  Sayangnya, di Solo kegiatannya baru sebatas mobilisasi sebagian PNS oleh pemerintah kota untuk terjun ke sungai dan membersihkan sampahnya, belum menjadikannya sebagai programyang terkonsep matang dan terencana sebagaimana idealnya.Lihat saja bagaimana kondisi sungai-sungai di Solo pada umumnya. Sampah banyak mengotori, limbah banyak mencemari, pendangkalan, abrasi, dan salah dalam pemanfaatan daerah aliran sungai. Hal ini telah menjadi bukti sahih hilangnya ideology keberpihakan terhadap sungai dari Pemerintah Kota Solo.
Melalui tulisan ini saya ingin mengajak kepada Pemerintah Kota Solo pada khususnya, maupun pemerintah daerah lainnya untuk mendekatkan dua isu diatas menjadi satu bagian yang padu. Bambu dan sungai. Dalam konteks akar budaya dan kondisi alam utamanya di Pulau Jawa, rasanya bambu dan sungai merupakan dua sejoli yang harmonis.Dimana ada sungai, disitu pasti tumbuh bambu.Keduanya telah beriringan dalam kurun waktu yang teramat lama, memberikan banyak sekali kemanfaatan untuk kehidupan manusia.
Keindahan harmoni alam berupa eratnya hubungan sungai dan bambu dengan segala dampak positifnya, kini seakan telah sirna.Tergusurkerasnyaindustri, tamaknyaekonomi, abainyapemerintah dan penguasa,  serta cueknya masyarakat.  Agar kerusakan ini tidak semakin parah, dan agar kita tidak mewariskan kerusakan lingkungan kepada anak cucu kita, sekaranglah saatnya untuk pemerintah kota hadir melakukan intervensi mendalam dengan memimpin kampanye dan gerakan dalam rangka menyandingkan kembali harmoni sungai dan bambu, serta mengisi sebanyak mungkin area daerah aliran sungai, dengan menanami pohon bambu.  Kita akan mendapatkan banyak sekali manfaat dari gerakan ini, gerakan yang menghidupkan budaya bambu.
Pertama, pohon bambu memiliki akar yang menguatkan tanah yang dipijaknya.Pohon bambu memiliki akar tunjang dan akar serabut yang menutupi tanah dan terikat kuat pada tanah, sehingga dengan kemampuan ini bisa meminimalisir terjadinya erosi di pinggiran sungai.  Makin banyak pohon bamboo ditanam di sepanjang aliran sungai, akan makin kuat posisi tanah disekitarnya, dan menahannya dari longsor akibat derasnya arus air terutama saat banjir.
Kedua, bambu adalah pohon serumpun, dimana dia tidak hidup menyendiri, tetapi dia hidup dalam ikatan rumpun yang saling menguatkan.  Meskipun kita hanya menanam satu bibit bambu, dia akan tumbuh berkembang menjadi rumpun yang hidup berkesinambungan.  Saat batang yang tua ditebang untuk diambil manfaat ekonomisnya, dia sudah meninggalkan banyak benih muda yang siap tumbuh.Pohon yang tua memayungi yang muda, dan pohon yang muda mengelilingi dan melindungi yang tua, begitu seterusnya menjadi sebuah siklus.
Ketiga, pohon bambu merupakan penyimpan air yang sangat baik.Tanaman bambu memilikiakar rimpang yang sangat kuat. Struktur akar ini menjadikannya dapat mengikat tanah dan air dengan sangat efektif. Jika pohon pada umumnya hanya mampu menyerap air hujan 35 – 45 persen, pohon bambu mampu menyerap air hujan hingga 90 persen.Sebagaiparameter sederhana, dimana ada hutan bambu, dibawahnya selalu tersimpan air yang bersih.
Keempat, pohon bambu penghasil oksigen (O2) dan penyerap karbondioksida (CO2).  Satu pohon bambu besar mampu menghasilkan 1,2 kilogram oksigen perhari. Sementara, kebutuhan manusia akan oksigen rata-rata 0,5 kilogram perhari.  Jadi satu pohon bambu mampu menyuplaikebutuhan oksigen dua orang perhari. Disamping itu, yang lebih hebat lagi adalah kemampuannya menyerap CO2 adalah 12 ton perhektar pertahun. Artinya, satu hektar tanaman bambu, mampu menyerap 12 ton CO2 dalam setahun. Dalam konteks Solo sebagai kota dengan padatnya kendaraan bermotor, yakni 2,5 juta kendaraan yang berlalu-lalang setiap harinya, secara langsung berkontribusi meningkatkan konsentrasi gas polutan dalam udara.  Dibutuhkan sistem yang ramah lingkungan untuk menanggulangi problem ini.Memperbanyak penanaman pohon trembesi di hutan-hutan kota, dan memperbanyak penanaman pohon bambu di daerah aliran sungai adalah salah satu solusi terbaik.
Kelima, pohon bambu memiliki nilai ekonomis yang potensial untuk terus dikembangkan di masa mendatang. Semangat yang dimunculkan dalam kegiatan Bamboo Bienalle paling tidak menunjukkan hal itu. Terlampau banyak peran bambu yang bisa mengisi sendi-sendi kehidupan manusia.Terlampau sayang jika bambu disingkirkan peran-peran pentingnya dalam membersamai manusia.
Sangat bagus rasanya jika pemerintah Kota Solo juga pada saat yang sama melakukan konservasi terhadap bambu.  Banyaknya titik-titik area pinggiran sungai yang masih memungkinkan dipakai, ditanami bambu yang berbeda-beda di tiap titiknya. Misalnya, di sekitar sungai taman Sekartaji Jebres, khusus untuk bamboo kuning. Di Gulon khusus untuk bambu apus. Di Semanggi khusus bambu wulung. Daerah Kampung Sewu untuk bambu seruling. Sungai Sangkrah khusus bambu petung, dan seterusnya.  Dengan cara ini, akan makin besar peluang Solo yang meski sempit secara wilayah, tapi bisa merebut icon kota seribu bambu.
Wacana yang sempat mengemuka beberapa waktu terakhir, untuk menjadikan Solo sebagai Slow City, nampaknya semakin relevan dengan keberadaan hutan bambu di daerah-daerah aliran sungai, serta akrabnya kembali masyarakat Solo dengan sungai dan bambu.Mengandalkan kekuatan beton dan tanggul tinggi untuk menanggulangi banjir semestinya tidak menjadi satu-satunya solusi.  Saat alam murka karena ulah tangan manusia yang merusaknya, kuatnya beton dan tingginya tanggul tidak ada artinya sama sekali. Semua bias dikalahkan oleh kekuatan alam. Tetapi membangun kembali hubungan harmonis manusia dengan alamnya (living in harmorny) ,inilah solusi paling mendasar untuk menjadikan alam bersahabat dengan manusia. Membangun ideologi keberpihakan terhadap sungai memiliki implikasi positif yang akan semakin membawa masyarakat Solo menemukan kesejatiannya sebagai manusia.
Rasanya kita semua boleh memimpikan, memiliki Solo yang sungainya bersih dari sampah, rimbun dengan rumpun hutan bambu disekitarnya, bebas dari limbah,dan ikan bisa hidup dengan layak didalamnya.Akankah mimpi ini terwujud? Wallahu a’lam.
Opini ini ditulis oleh  Sugeng Riyanto, S.S (Wakil Ketua Komisi III,Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Kota Surakarta, Member Greenpeace Indonesia) dan dimuat di harian Joglosemar Rabu, 9 November 2016
Previous
Next Post »