Gagasan : Bangjo dan Branding Kota Solo

PKS Kota Solo - Dalam rapat kerja Komisi III DPRD Kota Surakarta bersama dengan Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Surakarta beberapa hari yang lalu, saya menyampaikan sebuah usulan terkait dengan cara untuk membranding kota. Saya mengusulkan agar traffict lightatau bangjo (lampu abang ijo, dalam bahasa Jawa) yang ada di Kota Solo ini bisa dimanfaatkan sebagai sarana mempertajam ingatan masyarakat pengguna jalan dari manapun mereka berasal, akan Kota Solo.  Dishub sebagai penanggungjawab bangjo bisa memanfaatkannya tidak sebatas alat untuk mengatur lalu lintas, tetapi juga bisa dioptimalkan untuk fungsi lain. 

Nilai strategis bangjo

Kalau kita perhatikan, dimana ada bangjo, pasti di sekitarnya terdapat banyak pihak yang memanfaatkan keberadaannya. Biro iklan bisa menjual reklame dengan harga yang cukup tinggi di pertigaan, perempatan atau proliman yang terdapat bangjo. Berbagai jenis, bentuk dan ukuran reklame terpampang di seputaran area yang gampang terlihat oleh pengguna jalan yang berhenti saat lampu merah.Bangjo juga dimanfaatkan oleh penjaja koran untuk menawarkan dagangannya. Mereka sangat diuntungkan dengan lokasi yang orangnya silih berganti tiap menit dalam jumlah yang banyak. 
Bahkan, dulu bangjo memberikan peluang rezeki cukup menjanjikan bagi para pengamen. Saya pernah terlibat di pemberdayaan pengamen dalam wadah KAPAS (Keluarga Pengamen Surakarta),  sekitar tahun 2000an. Mereka punya slogan unik, "Ono bangjo iso urip". Cukup dengan bernyanyi di saat lampu merah menyala, dalam dua jam, minimal 50 ribu bisa didapatkan.
Kita ketahui bersama bahwa Solo sebagai kota kecil, tidak memiliki Sumber Daya Alam andalan untuk memperoleh pendapatan. Andalannya adalah jasa, perdagangan dan pajak. Maka Solo harus kreatif untuk membuat sebanyak mungkin orang bisa berkunjung, berbelanja, nginap dan mengadakan acara di Solo. Dengan begitu, perekonomian kota akan menggeliat. Kita masih ingat apa yang disampaikan Jokowi saat masih menjabat walikota. Ada tiga tahapan yang harus dilakukan agar Solo berhasil menjual kotanya. Tahap pertama adalah manajemen produk. Tentukan dulu produknya. Solo memiliki banyak sekali produk yang sangat layak jual, baik berupa aset yang tangible maupunintangible, baik berupa fisik maupun non fisik. Tahap kedua adalah manajemen branding. Manajemen branding sangat diperlukan untuk membangun persepsi publik tentang citra dan persepsi semacam apa yang diinginkan terbangun di Solo ini, Solo Kota Budaya, Solo Kota Pendidikan, Solo Kota MICE, Solo Kota Sholawat dan ikon lainnya.  Sedangkan tahap ketiga adalah manajemen customer, dengan menggarap calon konsumen atau masyarakat luar Solo agar tertarik dan sering berkunjung.
Dalam manajemen branding, pemkot sudah melakukan banyak hal. Kaitannya dengan Solo Kota Budaya misalnya, terlalu banyak ikon budaya Solo yang sudah diekspose oleh pemkot dengan berbagai event, tampilan dan kemasan yang sangat beragam, dengan support anggaran yang tidak sedikit. Demikian juga dengan Solo Kota Pendidikan, ada banyak sekali jenis dan ragam pendidikan yang ada di Kota Solo sehingga menjadi rujukan untuk belajar warga luar Solo, terutama untuk jenjang menengah atas dan perguruan tinggi. Pun terkait Solo Kota MICE, sentuhan lintas sektoral yang ujungnya pada orientasi menjadikan Solo sebagai kota pariwisata dengan berbagai keperluan terkait aneka pertemuan dan rapat besar, pameran berbagai produk berskala nasional dan internasional, dengan menyiapkan sarana pendukungnya yang sangat beragam, sudah dilakukan oleh pemkot meski masih dalam proses penyempurnaan. Rencana pembangunan Solo Exhibition Hall adalah salah satunya.  Tak ketinggalan, branding Solo Kota Sholawat, pemkot sudah melakukan upaya untuk memperkuat branding. Misalnya dengan memfasilitasi setiap kelurahan dengan perangkat hadrah yang bisa digunakan masyarakat untuk berlatih. Selain itu juga parade hadroh, festival hadroh di tiap kecamatan, pengajian akbar Solo bersholawat rutin dilakukan.

Bangjo Sebagai Sarana Audio Branding

Namun masih ada satu lagi upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk memperkuat semua branding yang diinginkan melekat kuat pada Kota Solo, yang rasanya juga belum dilakukan di daerah lain, sehingga tidak ada salahnya jika Solo mengawalinya dan menjadi inspirasi bagi banyak daerah lain nantinya. Yakni dengan memanfaatkan semua bangjo yang ada di Kota Solo. Di atas sudah saya sampaikan bahwa kebanyakan bangjodipenuhi dengan berbagai reklame yang sifatnya visual, sesuatu yang bisa dilihat, baik dalam bentuk spanduk, baliho, poster, maupun video. Tapi masih sangat jarang -kalau tidak boleh dikatakan tidak ada- yang menggunakan pendekatan audio, sesuatu yang bisa didengar, rerungondalam istilah jawanya. 
Di Solo ada ratusan titik bangjoyang bisa dimanfaatkan untuk penguatan branding kota melalui pendekatan audio ini. Perangkatnya bisa disiapkan dan tidak terlalu sulit untuk Solo yang sudah maju secara teknologi. Kalaupun tidak langsung selesai dalam satu tahun anggaran APBD, setidaknya bisa dua atau tiga tahun, tetapi fungsinya akan sangat strategis dalam waktu lama.  Konsep pendekatan audio ini hanya membutuhkan speaker yang cukup keras dan nyaman di telinga, yang dipasang di semua titik bangjo, dengan satu ruang kendali yang terpusat.  Perlu diketahui, saat ini Solo sudah memiliki ruang kontrol CCTV untuk memantau semua CCTV yang terpasang lebih dari 50 titik di persimpangan jalan besar kota. Melalui ruangan itu,  bisa dilihatreal time siaran langsung tentang apa yang terjadi. Sebagiannya bisa kita akses melalui aplikasi "Info Lalin Solo". Kurang lebih instalasi semacam inilah yang dibutuhkan, tetapi lebih pada kontrol suara atau audio. Akan sangat bagus kalau bisa diintegrasikan. Ada video yang bisa diakses melalui CC room, petugas bisa memasukkan audio di dalamnya. 
Apa yang saya bayangkan dari konsep ini adalah, semua pengguna jalan di Solo akan pasti menjumpai melalui pendengaran saat di bangjo, berbagai rerungon yang makin memperkuat branding Kota Solo. Misalkan, saat pagi dan sore di jam padat, saat kita berhenti di bangjomanapun sesolo, bisa mendengarkan sholawatnya Habib Syeh atau alunan sholawat Hadad Alwi. Secara langsung maupun tidak, ini akan memperkuat branding, Solo Kota Sholawat. Dan hati kita akan semakin adem meski di jam sibuk dan padat. Lalu pada siang hari yang terik, saat kita berhenti di bangjo, bisa diperdengarkan gamelan atau keroncong dengan nyanyian walang kekeknya Waljinah yang melegenda atau “Bengawan Solo” dan “Caping Gunungnya Gesang yang tak pernah lekang. Malam hari saat santai, bisa diperdengarkan dari bangjo yang menyala merah, pengumuman berbagai event budaya yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat di Kota Solo, komplit dengan acara dan tempat penyelenggaraannya. Sertarerungon lain yang dipandang penting dan perlu, bisa disiarkan secara langsung melalui media ini. Sebulan saja program ini berjalan, sudah ratusan ribu atau bahkan jutaan orang mendengarkan berbagai hal yang sesungguhnya merupakan strategi yang dilakukan Pemkot untuk memasukkan dalam alam bawah sadar pengguna jalan yang melintasi Solo, bahwa mereka sedang terbranding, sedang menjadi sasaran branding.
Saat saya menyampaikan ide ini dalam rapat kerja Komisi III DPRD bersama dishub, saya bertanya kepada Kepala Dishub, “Adakah regulasi yang melarang pemanfaatan bangjo sebagai sarana branding kota melalui pendekatan audio?” Beliau menjawab, “tidak ada”. Maka ide ini menjadi sangat mungkin untuk direalisasikan. Wallahu a'lam
Ditulis oleh Sugeng Riyanto (Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera DPRD Kota Surakarta)
Dimuat di Harian Solopos, Senin 18 September 2017
Previous
Next Post »