Keinginan Masuk Pondok Sering Gagal, Kuncinya Man Jadda Wajada (Bagian 1)

PKS Kota Solo – Sejak lulus SD, Ghofar kecil bertekad ingin melanjutkan pendidikan di pondok pesantren. Kuliah di Mesir menjadi cita-citanya. Namun, kenyataanya ha itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Kendati demikian, ia mendapat jalan lain untuk belajar agama dan bertemu guru-guru hebat dari luar negeri. Bagaimana perjuangannya?
Bagi Ghofar, belajar agama tidak bisa dilakukan sambil lalu. Ia yakin betul, untuk benar-benar bisa mendalami agama, harus dipelajari dengan fokus. Ghofar merasa, tinggal d pondok pesantren (ponpes) adalah satu-satunya pilihan yang tepat.
Selepas lulus SD, Ghofar mulai berburu informasi berbagai ponpes. Seperti Ponpes Gontor, Ngruki dan lain sebagainya. Namun sayang, Ghofar harus kecewa karena harapannya pupus terhalang biaya. Kedua orang tuanya mengaku tidak mampu membiayai.
“Sebagai gantinya, saya SMP dan SMA sekolah di Al Islam. Kedua orang tua saya memang membekali saya ilmu agama sejak kecil. Makanya, dari SD sudah pengen mondok,” beber pria kelahiran Solo, 20 Desember 1972 ini.
Lulus SMA tetap ingin mondok
Selama sekolah di Al Islam , Ghofar semakin mantap untuk mendalami agama Islam. Ia sudah banyak belajar, mengaji, dan diskusi dengan kyai-kyai di Al Islam. Niatnya tidak bisa digoyahkan lagi, lulus SMA Ghofar kembali ingin mondok.
“Di saat teman-teman yang lain pengin lanjut kuliah ke universitas favorit, saya sendiri yang pegin lanjut ke pendidikan yang mengarah agama. Saya berniat belajar agama,” sambung ayah dari enam orang anak ini.
Lembaga Pendidikan Bahasa Arab (LPBA) dipilih Ghofar untuk melanjutkan pendidikan. LPBA adalah lembaga kerja sama antara negara Arab dengan Indonesia. Untuk bisa lolos ke LPBA, Ghofar sudah mempersiapkan diri dengan matang. Tidak tanggung-tanggung, saat masih SMA, Ghofar sudah mampu menghafal Al Qur’an satu juz. Tak hanya itu, Ghofar juga tergabung dalam kegiatan ekstar kulikuler (ekskul) bahasa Arab.
Tapi, keinginannya lagi lagi harus kandas karena Ghofar terlambat melakukan pendaftaran.
“Dulu enggak ada internet seperti sekarang. Saya hanya mengandalakan informasu dari guru. Mungkin guru saya lupa. Kemudian, saya dapat info dari orang lain kalau jadwal pendaftarannya sudah lewat,” kenang alumni Universitas Sebelas Maret (UNS) ini. (Bersambung -klik disini)
Dimuat di Harian Jawapos Radar Solo kolom Santri Sukses, Senin 29 Mei 2017.
Previous
Next Post »